Apakah Nasihat Harus Menyertakan Dalil Al-Qur'an atau Hadis?


Nasihat memang sesuatu yang umum di masyarakat. Baik nasihat tersebut berupa ucapan ataupun tulisan. Kerap kali media sosial di hiasi dengan kata-kata quotes dengan desain yang menarik, yang tak lain bertujuan untuk mengajak orang lain berbuat lebih baik.

Hal ini selaras dengan nilai-nilai agama sebagaimana sabda baginda Rasulullah SAW,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ رواه مسلم

“Agama adalah nasihat,” lantas sahabat bertanya, “Bagi siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan umat muslim secara umum.” (HR. Muslim)

Kata nasihat dalam bahasa arab diambil dari kata kerja نصح (nasoha)yang berarti menyucikan. Dalam dalam hadis tersebut, kata nasihat yang ditujukan pada Allah berarti mensucikan Allah dengan berzikir. Ditujukan kepada kitab Allah berarti beriman bahwa al-Qur’an merupakan kalamullah dan menghilangkan anggapan bahwa al-Qur’an merupakan perkataan makhluk. Ditujukan kepada utusan Allah berarti membenarkan risalah Rasulullah SAW dan membenarkan segala sesuatu yang datang dari Beliau SAW. Sedangkan bila ditujukan kepada sesama umat muslim menunjukkan saling mensucikan sesama muslim dengan menjaga hak-haknya dan saling mengingatkan apabila lupa.

Baca juga: Jika Urusan Agama Diserahkan Bukan kepada Ahlinya Maka Tunggulah ...

Dari hadis tersebut juga menunjukkan kewajiban bagi umat muslim untuk saling menasehati. Wajib menasehati apabila saudara sesama muslimnya lupa. Serta wajib pula hukumnya menasehati apabila ada di antara mereka yang meminta nasehat. Sebagaimana hadis,

‌إِذَا ‌اسْتَنْصَحَ ‌أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَنْصَحْهُ رواه أحمد

“Jika salah seorang dari saudara muslimmu meminta nasehat, maka berilah ia nasehat.” (HR. Ahmad)[1]

Nasihat tergolong amar ma’ruf nahi munkar, yang berarti mengajak seseorang kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan. Terlebih jika kesalahannya sampai kepada perkara haram, maka wajib ain bagi setiap muslim untuk menasehatinya dan wajib kifayah bagi suatu kelompok apabila menjumpainya.[2]

Baca juga: Masjid Ar-Rahman Blitar, Miniatur Masjid Nabawi

Orang yang bijaksana selalu menggunakan nasihat dalam menebarkan kebaikan. Seperti kata-kata mutiara yang kerap kali kita dengarkan dari perkataan sahabat-sahabat Nabi SAW, para ulama’, dan orang-orang saleh. Seperti contoh perkataan KH. Maimun Zubair, “Jika kemarin kamu berbuat kesalahan, maka hari ini hapuskanlah dengan berbuat kebaikan.”[3]

Hal ini juga sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,

اَلْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَةُ الْحَكِيمِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقٌّ بِهَا

“Kalimat hikmah adalah senjatanya orang yang bijaksana, maka di mana pun ia menemukannya maka ia berhak atasnya.”

Pada dasarnya, menasihati seseorang lebih baik berdasarkan al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW, sebab tak diragukan lagi kebenaran dari keduanya. Namun bila meninjau dari hadis kalam hikmah di atas, Imam Qurtubi memperbolehkan menasihati seseorang tanpa mencantumkan kalam al-Qur’an atau Hadis asalkan tujuannya untuk kebaikan. Kecuali nasihat yang berkaitan dengan hukum syariat atau keyakinan maka harus menyertakan al-Qur’an dan hadis dalam peninjauannya.

Baca juga: Batas-batas Toleransi Antar Umat dalam Islam

Selain bertujuan untuk kebaikan, tentunya kata-kata hikmah yang dijadikan suatu nasihat juga memiliki tujuan mencegah dari kebodohan dan kerusakan. Kata-kata hikmah yang dijadikan suatu nasehat disyaratkan harus mengandung kebaikan, ilmu, dan akal yang sempurna.[4] Maka tidak termasuk nasihat apabila menasihati dengan cara mengajak pada keburukan, seperti perkataan “jika kamu ingin menjadi seorang ahli ibadah, maka lakukanlah kemaksiatan dulu baru nanti kamu sadar dan jadi ahli ibadah yang tekun.” Meskipun kata-kata tersebut pada akhirnya mengajak kebaikan, tetapi kata-kata tersebut juga mengandung ajakan pada keburukan, maka haram hukumnya untuk mengucapkannya dan tidak perlu dianut bagi yang mendengarkannya.

Selain itu, tidak ada syarat yang mengharuskan pemberi nasihat harus didasarkan pada status sosial. Siapa saja berhak untuk memberikan nasehat asalkan berdasarkan tiga syarat di atas.

Nasihat juga merupakan jalan dakwah menebarkan kebaikan. Tentunya bagi yang melaksanakan akan dilipat gandakan pahalanya. Sebagaimana sabda baginda Rasulullah SAW,

أَيُّمَا دَاعٍ دَعَا إِلَى هُدَى وَاتَّبَعَ عَلَيْهِ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَأَجْرُ مَنْ اَتْبَعُهُ  رواه ابن ماجه

“Setiap orang yang mengajak kepada petunjuk kebaikan kemudian diikuti oleh orang yang diberi petunjuk, maka orang yang memberi petunjuk juga mendapatkan kebaikan orang yang diberi petunjuk.” (HR. Ibnu Majah)[5]

Baca juga: Apakah Suami yang Meninggalkan Istri Wajib Menafkahi?

Menasihati seseorang juga memiliki tata krama. Jika kita ingin menasihati seseorang maka harus dengan tutur kata yang baik, tidak menggunakan kata-kata kotor dan kasar. Selain itu, menasehati juga harus di tempat yang tertutup sekiranya tidak ada orang lain yang mendengarkan. Sebab jika ada orang lain yang mendengarkan maka hal tersebut termasuk membuka aib sesama muslim.

Sedangkan bagi orang yang dinasihati hendaknya mendengarkan dengan seksama nasihat yang diberikan. Karena menolak dari nasihat baik dari saudara seiman merupakan tanda-tanda hatinya menjadi keras.[6] Serta tidak menolak nasihat karena merasa cukup dengan keilmuan yang dimiliki. Sebab menolak nasihat karena merasa dirinya sudah cukup ilmu atau merasa lebih alim dari yang menasehati termasuk orang paling bodoh.[7]

Wallahu a’lam

[1] Imam Nawawi (676 H), Syarh Matan Al-Arbain An-Nawawiah, (Damaskus: Maktabah Darul-Falah), hlm 36-39

[2] Imam Ibnu Hajar Al-Atsqolani, Al-Munabbihat alal-Isti’dad li-Yaumil-Mi’ad, (Al-Ma’had Al-Islami As-Salafi), hlm 4

[3] Syaikh Abu Tiib (1307 H), Husnul-Uswah bima Tsabata mina-Llahi wa Rasulah fii Niswah, (Beirut: Muasisah Ar-Risalah), hlm 189

[4] Imam Al-Mudhari (727 H), Al-Mafatih fii Syarhil-Mashabih, (Suriah: Dar An-Nawadir), jld 1 hlm 317-318

[5] Imam Abu Hamid Al-Ghazali (505 H), Ihya’ Ulumuddin, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah), jld 3 hlm 327

[6] Syaikh Najmuddin Al-Ghazi (1061 H), Husnut-Tanbih lima Warada fiit-Tasybih, (Suriah: Dar An-Nawadir), jld 4 hlm 508

[7] Imam Abdul Basith Asy-Syafi’i (981 H), Al-Aqdut-Talid fii Ikhtisharid-Durri An-Nadhir, (Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniah), hlm 107

2 komentar untuk "Apakah Nasihat Harus Menyertakan Dalil Al-Qur'an atau Hadis?"

  1. Comment Author Avatar
    Mantap mantappp ajiiib
    1. Comment Author Avatar
      Terima kasih atas komentarnya kakak, jangan lupa untuk mampir kembali di website kami.

Silahkan masukkan komentar Anda di sini.