Batas-batas Toleransi Antar Umat dalam Islam

Gambar Batas Toleransi dalam Islam

Toleransi berarti hubungan antara dua paham atau lebih yang berbeda namun tidak sampai menimbulkan perpecahan. Perbedaan di kalangan masyarakat memang suatu hal yang wajar dan tidak mungkin untuk dihindari. Maka dengan adanya toleransi, penting untuk diterapkan guna meredam munculnya berbagai macam konflik dan kesenjangan sosial.

Namun apa jadinya, bila toleransi diberlakukan dalam Islam. Tentu saja hal ini bertentangan dengan prinsip konsistensi Islam sebagai satu-satunya agama yang benar di sisi Allah SWT.[1] Agama Islam diturunkan sebagai rahmat tentunya memiliki kemurahan dalam penerapannya. Maka dari itu, toleransi dalam Islam tetap ada hanya saja memiliki batasan-batasan tertentu.

Adapun salah satu ayat al-Qur'an yang menjelaskan tentang toleransi yaitu,

لَّا یَنۡهَاكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِینَ لَمۡ یُقَـٰتِلُوكُمۡ فِی ٱلدِّینِ وَلَمۡ یُخۡرِجُوكُم مِّن دِیَـٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوۤا۟ إِلَیۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ یُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِینَ

"Allah tiada melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Baca juga: Kutbah Jum’at Tentang: Takwa kepada Allah

Dari ayat tersebut muncullah beberapa macam batasan toleransi terhadap non muslim yang diperbolehkan.

1. Berperilaku Baik Pada non Muslim

Kebaikan tidak hanya terbatas pada sesama muslim, bahkan bila kita berperilaku baik terhadap non muslim sekalipun, maka tetap dihitung sebagai amal sholeh. Ini juga sesuai dengan akhlak Nabi SAW dalam suatu riwayat,

فَلِرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ أَجْوَدَ بِالْخَيرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ رواه البخاري

Bagi Rasulullah SAW, Malaikat Jibril menjuluki Beliau sebagai yang paling dermawan dengan kebaikan bagaikan angin yang berhembus. (HR. Bukhari)

Maksud dari hadis tersebut menyatakan bahwa Rasulullah SAW merupakan manusia paling dermawan dan paling baik budi pekertinya. Bak angin berhembus tidak memandang muslim maupun non muslim, manusia maupun hewan atau tumbuhan, orang yang baik padanya maupun yang jahat padanya semua terkena kebaikan Nabi Muhammad SAW.

Baca juga: Sultan Salahuddin al Ayyubi, Pahlawan Muslim yang Mengukir Sejarah

2. Berperilaku Adil Bagi non Muslim

Adil juga tidak hanya berlaku bagi sesama muslim, orang non muslim juga berhak untuk diperlakukan secara adil menurut hukum syariat. Sebab Islam menjunjung tinggi rasa manusiawi terhadap sesama, atau yang lebih dikenal dengan istilah Ukhwatul Basyariah (saudara sesama manusia).

Bahkan hukum menerapkan sifat adil sesuai syariat terhadap non muslim adalah wajib.[2] Termasuk dalam permasalahan transaksi, janji, hubungan sosial dan masih banyak lagi.

Ambil contoh, seperti toleransi yang dilakukan oleh sultan Muhammad al-Fatih. Yang mana Beliau sebagai pemimpin yang bijak, memberikan tempat tinggal bagi orang-orang yahudi serta menjamin keadilan bagi mereka di wilayah kekuasaan kerajaan Usmani. Setelah mereka terusir dari Spanyol oleh kepemimpinan kristen waktu itu.[3]

Baca juga: Menemukan Ketenangan Diri dengan Sifat Iffah

3. Dilarang Menzalimi Orang non Muslim

Ini merupakan kebalikan dari poin sebelumnya. Menzalimi orang non muslim haram hukumnya dan tergolong perilaku maksiat. Salah satu dalil yang mendasari larangan berbuat zalim kepada mereka yakni firman Allah yang berbunyi,

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِینَ یَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَیَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا بِغَیۡرِ عِلۡمࣲۗ كَذَ ٰ⁠لِكَ زَیَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمۡ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرۡجِعُهُمۡ فَیُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ

"Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan, tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-An'am: 108)

Sebab, jika umat muslim melakukan penghinaan atau kezaliman terhadap non muslim, justru akan menjelekkan citra Islam itu sendiri. Selain itu, tidak akan membuat orang lain sadar akan keindahan Islam, justru akan menimbulkan permusuhan dan perpecahan.[4]

Baca juga: Alasan Mengapa Air Liur Anjing Najis dalam Islam

4. Tidak Boleh Memutus Tali Silaturahmi Apabila Ada Saudara Sedarahnya yang non Muslim

Memutus silaturahmi atau tidak menganggap kepada kerabatnya merupakan salah satu dosa besar. Namun apa jadinya, jika memiliki saudara sedarah yang non muslim. Maka menyambung silaturahmi kepada mereka hukumnya tetap wajib.

Hal ini didasari oleh hadits yang berbunyi,

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ إِذْ عَاهَدَهُمْ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ رواه مسلم

Dari Asma` binti Abu Bakar RA ia berkata, (Ketika terjadi gencatan senjata dengan kaum Quraisy) "Ibuku mendatangiku yang ketika itu masih musyrik. Lalu aku meminta pendapat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, saya bertanya, "Wahai Rasulullah, Ibuku mendatangiku karena rindu padaku. Bolehkah aku menjalin silaturahmi dengan Ibuku?" Beliau menjawab: "Ya, sambunglah silaturahmi dengan ibumu." (HR. Muslim)

5. Tidak Menganggu non Muslim ketika mereka Beribadah

Dalam mengembangkan dakwahnya, Rasulullah SAW tidak pernah mengganggu umat lain dalam beribadah. Hal ini bertujuan, agar tidak timbul perpecahan di antara satu-sama lain.

Sebagaimana perjanjian Rasulullah SAW dengan orang-orang yahudi ketika Beliau memasuki kota Madinah. Yang mana inti dari perjanjian tersebut berisi:

  • Dilarang memerangi satu sama lain
  • Dilarang menyakiti satu sama lain
  • Dilarang menampakkan permusuhan satu sama lain
  • Jika ada yang menyerang kota Madina maka harus diperangi bersama-sama
  • Tidak saling mengganggu dalam perihal agama[5]
Baca juga: Menguak Sejarah Ibnu Khaldun, Pemikiran Cemerlang dalam Peradaban Islam

6. Tidak Boleh Mengikuti Cara Ibadah Agama non Islam

Memang kita diperbolehkan berhubungan dengan non muslim di beberapa bidang duniawi, namun tidak untuk ibadah mereka. Seperti ikut merayakan hari raya mereka atau mendukung hari raya mereka. Sebab perbuatan tersebut termasuk membantu syi'ar-syi'ar mereka.

Hal ini didasari oleh hadits dengan sanad yang shahih,

وَعَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ نَذَرَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَنْحَرَ إِبِلًا بِبُوَانَةَ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ فَقَالَ هَلْ كَانَ فِيهَا وَثَنٌ يُعْبَدُ قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ كَانَ فِيهَا عِيدٌ مِنْ أَعْيَادِهِمْ فَقَالَ لَا فَقَالَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا فِي قَطِيعَةِ رَحِمٍ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالطَّبَرَانِيُّ

Dari Tsabit bin Dhahhak RA berkata, "Seorang lelaki bernazar di masa Rasulullah SAW dengan nazar menyembelih unta di Buanah kemudian ia mendatangi Rasulullah SAW untuk mengajukan pertanyaan tentang nazarnya. Lantas beliau berkata, "Apakah di sana ada berhala yang disembah?". Ia menjawab, "tidak". Rasulullah SAW kembali berkata, "apakah di sana dilaksanakan hari rayanya orang-orang kafir?" Kemudian ia menjawab, "tidak" kemudian Rasulullah SAW berkata, "laksanakan nazarmu!" Karena dalam pelaksanaan nazarmu tidak ada unsur maksiat kepada Allah, tidak ada unsur memutus silaturahmi dan di sana juga tidak ada kepemilikan anak Adam." (HR. Abu Dawud dan Tabrani)

Dari hadits tersebut membuktikan bahwa mendukung kegiatan hari raya orang non muslim tidak diperbolehkan apalagi ikut serta merayakannya. Serta tidak diperbolehkan juga untuk mengucapkan selamat terhadap hari raya non muslim dengan alasan yang sama. Sebagaimana ayat al-Qur'an,

وَٱلَّذِینَ لَا یَشۡهَدُونَ ٱلزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغۡوِ مَرُّوا۟ كِرَامࣰا

"Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya." (QS. Al-Furqan: 72)

Ad-Dhahhak, Ibnu Abbas, dan Ibnu Zubair menafsirkan, bahwa yang dimaksud kesaksian palsu di sana adalah hari raya orang-orang non muslim.[6]

Wallahu a'lam



[1] Imam Ibnu Katsir (774 H), Tafsir Ibnu Katsir, (Dar Tab’ah Lin-Nasyr wat-Tauzi’), jld 8 hlm 508

[2] Imam Qurthubi (671 H), Tafsir Al-Qurthubi Al-Jami Al-Ahkamil-Qur'an, (Cairo: Darul-Kutub Al-Misriah), jld 18 hlm 59

[3] Syaikh Ahmad bin Sulaiman Ayyub, Mausuah Mahasinil-Islam, (Darul-Waqfeya Da'wiah), jld 1 hlm 152

[4] Imam Qurthubi (671 H), Tafsir Al-Qurthubi Al-Jami Al-Ahkamil-Qur'an, (Cairo: Darul-Kutub Al-Misriah), jld 7 hlm 60-61

[5] Syaikh Al-Hudhori (1345 H), Nurul-Yaqin fii Sirati Sayyidil-Mursalin, (Damaskus: Darul-Faiha'), hlm 88

[6] Imam Qurthubi (671 H), Tafsir Al-Qurthubi Al-Jami Al-Ahkamil-Qur'an, (Cairo: Darul-Kutub Al-Misriah), jld 13 hlm 79

Posting Komentar untuk "Batas-batas Toleransi Antar Umat dalam Islam"