Jika Urusan Agama Diserahkan Bukan kepada Ahlinya Maka Tunggulah ...


Kita pasti menginginkan hasil maksimal dari suatu pekerjaan. Terlebih lagi pekerjaan itu mencakup urusan agama, maka penting untuk diperhatikan dan dijalankan dengan hati-hati mengingat nilai-nilai agama yang mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Tentunya hal ini tidak bisa diabaikan begitu saja, urusan agama perlu disikapi oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya; sebagaimana hadis,

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَحْدُثُ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيُّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ؟ قَالَ إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةِ قَالَ كَيفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ ‌إِذَا ‌وُسِدَ ‌الْأَمْرَ ‌إِلَى ‌غَيْرِ ‌أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةُ رواه البخاري

Dari Abu Hurairah RA berkata “ketika aku bersama Rasulullah SAW Beliau bercerita, telah datang orang badui, ia bertanya “kapankah kiamat?” Beliau menjawab, “ketika perkara telah terabaikan maka tunggulah kiamat.” Ia bertanya kembali, “bagaimana bisa perkara terabaikan?” Beliau menjawab, “apabila suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menunjukkan, bahwa suatu perkara apabila diberikan kepada orang yang bukan ahlinya maka perkara tersebut akan hancur. Serta menunjukkan salah satu tanda-tanda kiamat. Dalam artian, kiamat tidak akan terjadi sampai apa yang disabdakan dalam hadis ini terjadi.[1]

Baca juga: Masjid Ar-Rahman Blitar, Miniatur Masjid Nabawi

Pada dasarnya warisan Nabi SAW yang sampai kepada kita adalah ilmu. Bahkan ada sebagian ulama yang mengartikan agama adalah ilmu. Oleh karena itu, apabila agama dibawakan oleh orang bodoh atau orang yang kurang ahli dalam bidang ilmu agama, maka akan tersebarlah kebodohan dan kezaliman.

Rasulullah SAW bersabda,

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُهُ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءُ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمًا اِتَّخَذَ النَّاسُ رُؤَسَاءَ جُهَّالًا فَاسْئَلُوا فَأَفْتُوا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا متفق عليه

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari manusia secara langsung tetapi Allah mencabut ilmu dengan wafatnya para ulama, sehingga tidak tersisa orang yang alim. Kemudian orang-orang akan mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, orang-orang bertanya pada mereka, kemudian mereka menjawab dengan fatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (Mutafaq Alaih)

Dari hadis ini menunjukkan pentingnya mengangkat seorang panutan agama yang alim dan benar-benar kompeten dalam bidang agama. Sebab orang yang berhak memberi keputusan agama harus tahu banyak tentang hukum-hukum fikih dengan merujuk dari hasil ijtihad Salafush Shalih yang lebih mengerti tentang pencetusan hukum.[2]

Baca juga: Batas-batas Toleransi Antar Umat dalam Islam

Terlebih lagi dalam menyikapi ayat al-Qur’an, tentunya tidak boleh sembarangan dalam mengartikannya. Karena al-Qur’an tidak boleh hanya dinalar dengan prasangka manusia yang terbatas. Terkadang, ada juga yang mengartikan al-Qur’an dengan hawa nafsunya, yang hanya mencocoki pada kemauannya. Kita butuh untuk mengetahui tafsir yang benar dalam memahami ayat al-Qur’an. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

مَنْ قَالَ في كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ رواه الترمذي

“Barang siapa yang mengatakan dengan kitab Allah Azza wa Jalla dengan prasangkanya meskipun itu tampak benar, maka ia telah keliru.” (HR. Tirmidzi)

Memahami ayat al-Qur’an harus menguasai berbagai macam disiplin ilmu. Seperti ilmu nahwu, ushul fikih, kaidah-kaidah tafsir, dan masih banyak lagi. Maka dari itu, orang yang tidak memiliki kemampuan tersebut hanya bisa merujuk pada ulama ahli tafsir seperti Imam Suyuti dengan Tafsir Jalalainnya, Imam Qurtubi dengan Tafsir al-Qurtubinya, dan masih banyak lagi.[3]

Baca juga: Apakah Suami yang Meninggalkan Istri Wajib Menafkahi?

Kemudian yang tak kalah pentingnya bagi pemuka agama, yakni keilmuan yang ia miliki harus memiliki guru dengan belajar di majelis ilmu secara langsung bukan hanya mendengarkan di media. Imam al-Qabisi, al-Lakhmi, dan Ibnu Rusyd berpendapat, bahwa seorang yang belajar ilmu agama harus memiliki guru yang membacakan materi pembelajaran, sebab ilmu tidak akan berfaedah dan akan mudah lupa bila tanpa guru. Belajar tanpa guru, seperti halnya meminta tolong petunjuk jalan kepada orang yang buta, maka jelas tidak akan bisa sampai ke tujuan.

Lebih parahnya lagi, penyebab munculnya banyak aliran-aliran menyimpang dalam ajaran Islam adalah dengan menyerahkan urusan agama bukan pada ahlinya. Kemudian mereka hanya menggunakan prasangkanya tanpa ilmu dalam menyikapi urusan agama. Salah satu faktor lain yang menyebabkan fitnah tersebut muncul sebagaimana pendapat Sayyid Muhammad al-Maliki al-Hasani mengatakan, "Orang yang berusaha membuat sekte baru, didasari oleh kepercayaan diri mereka yang merasa paling layak masuk surga." Hal ini juga dilandasi dengan sabda baginda Nabi SAW yang berbunyi,

سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي نَيِّفًا وَسَبْعِينَ فِرْقَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً الَّذِينَ يَقِيسُونَ الْأُمُورَ بِآرَائِهِمْ 

“Umatku akan terpecah menjadi lebih dari tujuh puluh golongan, paling agungnya fitnah yakni mengaitkan suatu perkara dengan prasangkanya sendiri.”

Baca juga: Macam-macam Hutang Riba yang Diharamkan

Padahal arti Islam sendiri itu pasrah. Dalam artian, pasrah dengan berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadis. Kemudian dengan prinsip itulah, kita diberi jalan yang benar dengan agama yang lurus oleh Allah SWT. Sedangkan bagi orang yang mengingkarinya akan disiksa oleh Allah SWT, sebagaimana pendapat Imam asy-Sya’bi, “Allah melaknat orang selalu menggunakan prasangkanya, yakni orang-orang yang selalu berkata berdasarkan prasangkanya tanpa menggunakan hukum asal yang disyariatkan.”[4] Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ أَفْتَى النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَعَنَتْهُ مَلَائِكَةُ السَّمَاءِ وَمَلَائِكَةُ الأَرْضِ رواه ابن عساكر

“Barang siapa yang berfatwa kepada manusia tanpa ilmu, maka malaikat langit dan bumi melaknatnya.” (HR. Ibnu Asakir)[5]

Oleh sebab itu, para Sahabat RA dan Salafush Shalih kita sangat berhati-hati dalam memutuskan suatu perkara agama. Kita ambil contoh, seperti sahabat Umar RA saat datang suatu permasalahan agama beliau mengumpulkan para sahabat Ahli Badar untuk berdiskusi memecahkan jawaban dari permasalahan tersebut. Contoh lain seperti keteladanan Imam Malik ketika diajukan kepada Beliau empat puluh delapan soal, tiga puluh dua soal di antaranya Beliau menjawab tidak tahu.

Ibnu Sholah berpendapat, “Hendaknya bagi seseorang memposisikan dirinya dengan adanya surga dan neraka sebelum menjawab suatu permasalahan, kira-kira jawabannya tersebut bagus atau tidak untuk kemaslahatan akhiratnya. Setelah itu ia baru menjawab.”[6] Dengan adanya konsekwensi tersebut, kita lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Sahabat Ibnu Mas’ud RA berpendapat, “Barang siapa berfatwa dengan mudahnya di segala permasalahan, maka ia telah gila.”[7]

Wallahu a’lam

[1] Syaikh Ibnu Battal (449 H), Syarh Shahihul-Bukhari liibni Battal, (Maktabah Ar-Rusyd), jld 1 hlm 137

[2] Syaikh Ahmad bin Ali (370 H), Syarh Mukhtasar At-Tahawi, (Darul-Basyair Al-Islamiah), jld 8 hlm 62

[3] Imam Ar-Rolmi (844 H), Syarh Sunan Abi Dawud, (Mesir: Darul-Falah), jld 15 hlm 86-87

[4] Imam Mawardi (450 H), Al-Hawi Al-Kabir, (Beirut: Darul-Kutub Al-Ilmiah), Jld 16 hlm 141-142

[5] Imam Najmuddin Ahmad Al-Harani (695 H), Sifatul-Mufti wal-Mustafti, (Darush-Shami’i), hlm 129

[6] Ibid, hlm 136

[7] Ibid, hlm 132

Posting Komentar untuk "Jika Urusan Agama Diserahkan Bukan kepada Ahlinya Maka Tunggulah ..."