Apakah Suami yang Meninggalkan Istri Wajib Menafkahi?

Gambar Suami Meninggalkan Istrinya

Kebersamaan antara suami istri merupakan suatu yang dikehendaki dari ikatan pernikahan. Dengan adanya kebersamaan, maka hubungan yang harmonis akan tetap terjaga. Imam Qurtubi menganggapnya sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dengan menukil dari salah satu firman Allah SWT yang berbunyi,

فَلَمَّا قَضَىٰ مُوسَى ٱلۡأَجَلَ وَسَارَ بِأَهۡلِهِۦۤ

“Maka ketika Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan itu dan dia berangkat dengan keluarganya,” (QS. Al-Qashash: 29)

Dalam tafsirnya, Beliau memberi pendapat bahwa yang dimaksud “berangkat dengan keluarganya” adalah seorang istri harus mengikuti di mana pun suaminya tinggal. Kewajiban ini ditetapkan, guna menanggulangi munculnya fitnah dalam rumah tangga.[1]

Namun dewasa ini kebutuhan seseorang sudah berbeda dengan zaman dahulu. Terkadang suami harus meninggalkan istrinya untuk bekerja atau adanya kebutuhan yang lain. Meski begitu, kewajiban mencari nafkah untuk istri tetap tidak gugur dengan perginya suami.

Baca juga: Selalu Istiqomah, Kunci Kesuksesan dalam Kehidupan

Sebelum beranjak ke permasalahan inti, dirasa penting untuk mengetahui besaran nafkah yang harus ditunaikan oleh suami per harinya. Jumlah nafkah yang harus dikeluarkan suami tergantung dari kemampuannya dalam mengais rezeki. Serta meninjau kebiasaan masyarakat di suatu wilayah dalam menilai pendapatan, dari sanalah seseorang bisa dinyatakan mampu atau tidak mampu. Salah satu contohnya, sebagian besar warga Indonesia menilai bahwa seseorang dikatakan mampu apabila gajinya melebihi dari Upah Minimum Regional atau lebih disingkat UMR pada suatu wilayah.

Bagi seorang suami yang mampu maka besaran nafkah yang harus diberikan kepada istrinya sebanyak dua mud atau dalam ukuran Indonesia sebanyak 1,086 kg makanan pokok per hari. Apabila berpenghasilan menengah, maka nafkah yang harus dikeluarkan sebanyak satu setengah mud atau setara 0,8145 kg makanan pokok. Sedangkan untuk berpenghasilan kurang mampu, maka nafkah yang dikeluarkan dalam seharinya 0,543 kg makanan pokok. Serta kebutuhan rumah tangga seperti baju dan alat memasak juga termasuk nafkah yang harus tercukupi.[2] Pembayaran nafkah terhitung dari sehari semalam atau dibayar satu bulan sekaligus untuk keseluruhan kebutuhan nafkah sebulan.[3]

Apabila seorang suami meninggalkan istri maka hukum nafkahnya perlu ditinjau terlebih dahulu, apakah perginya dapat diketahui atau tidak.

Baca juga: 5 Manfaat Puasa Bagi Kesehatan

1. Perginya Suami Dapat Diketahui

Apabila perginya suami dari rumah memungkinkan untuk diketahui keberadaannya maka nafkah bagi istri tetap wajib dilaksanakan. Entah memberi nafkahnya lewat transfer bank atau dikirim melalui ekspedisi.

Bagi suami yang dikatakan mampu namun ia tidak memberi istrinya nafkah sedangkan perginya sejauh jarak mengqashar shalat (kurang lebih 90 km) maka istri boleh memfasakh (membatalkan) ikatan pernikahan dengan suaminya. Beda halnya dengan suami yang tidak mampu, maka istri tidak boleh memfasakh suaminya dalam kondisi tersebut.[4] Namun apabila ada sebagian harta suami dititipkan di tempat yang tidak sampai pada jarak mengqashar shalat maka istri tidak boleh memfasakh meskipun suaminya mampu.

2. Perginya Suami Tidak Dapat Diketahui

Apabila kepergian suami tidak diketahui, maka harus berusaha mencarinya terlebih dahulu. Istri diharuskan mengadukan masalahnya tersebut kepada hakim untuk mencari suaminya.[5] Yang dimaksud hakim di sini adalah salah satu badan instansi pemerintah yang mengurusi tentang agama atau kalau di Indonesia bisa disebut Kantor Urusan Agama atau disingkat KUA.

Baca juga: Biografi Imam Mawardi, Ulama Pakar Hukum Konstitusi Islam

Jika sang suami meninggalkan harta di rumah, maka boleh untuk menggunakan harta tersebut untuk kebutuhannya sehari-hari, tapi hanya untuk perkara yang ma’ruf (kebaikan). Jika harta tersebut tidak ada, maka istri harus mendatangi kerabat-kerabatnya untuk menanyakan tentang harta suaminya. Apabila di tempat saudaranya terdapat sebagian harta suami, maka boleh dipakai namun hanya untuk perkara yang ma’ruf. Atau jika suami memiliki beban zakat atas harta yang dititipkan di kerabatnya maka sunnah bagi istri menunaikan zakat suaminya.[6]

Apabila sudah benar-benar tidak ditemukan harta suami, maka istri boleh hutang terlebih dahulu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.[7] Menurut pendapat Ashah boleh meminta hutang kepada hakim untuk mencukupi kebutuhan istri sehari-hari. Terlebih lagi jika ia memiliki tanggungan anak yang harus dicukupi kebutuhannya, maka harus dengan jumlah uang yang sekiranya cukup sampai suaminya kembali.[8]

Jika sang suami sudah kembali dari kepergiannya, maka ia harus membayar seluruh beban hutang istri selama kepergiannya. Namun apabila suami dinyatakan meninggal, maka hutang tersebut harus dibayar oleh ahli warisnya.

Baca juga: 7 Manfaat Gerakan Sholat Bagi Kesehatan

Berbeda dengan kondisi suami yang bisa diketahui keberadaannya. Dalam permasalahan ini, Istri boleh memfasakh suami yang tidak mampu apabila hilangnya tidak diketahui. Ini merupakan pilihan bagi istri antara memfasakh atau sabar dengan kepergian suaminya.

Kebolehan memfasakh yang dimaksud di sini, sebab ditakutkan kebutuhan seorang istri tidak bisa tercukupi jika tidak ditemani oleh suaminya.[9] Bukan karena memberi kesempatan bagi istri agar lebih mudah untuk berpisah dengan suaminya.

Erat kaitannya dengan hal ini, yakni apabila harta suami jauh dari tempat tinggal suami istri. Meskipun suami berada di tempat tinggalnya, maka boleh bagi istri memfasakh suaminya apabila jarak hartanya melebihi jarak mengqashar shalat. Terlebih lagi bagi suami yang susah namun hartanya ada di tempat yang jauh sejauh jarak mengqashar shalat, maka harus segera diambil karena ditakutkan akan banyak kebutuhan.[10]

Wallahu a’lam



[1] Imam Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, (Cairo: Darul-Kutub Al-Misriah), jld 13 hlm 281

[2] Syaikh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib, (Surabaya: Imaratullah), hlm 52

[3] Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, (Mesir: Al-Maktabah At-Tijariah Al-Kubra), jld 8 hlm 335

[4] Imam Nawawi (272 H), Minhajut-Talibin, (Beirut: Darul-Kutub Al-Islamiah), hlm 279

[5] Ibid, hlm 278

[6] Syaikh Sulaiman bin Umar Al-Ajili, Hasyiyatul-Jamal, (Beirut: Darul-Fikr), jld 4 hlm 98

[7] Syaikh Abu Bakar Ad-Dimyati, Ianatut-Talibin, (Beirut: Darul-Fikr), jld 2 hlm 194

[8] Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, (Mesir: Al-Maktabah At-Tijariah Al-Kubra), jld 8 hlm 338

[9] Syaikh Abu Bakar Ad-Dimyati, Ianatut-Talibin, (Beirut: Darul-Fikr), jld 4 hlm 98

[10] Syaikh Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami, Hasyiyah Al-Bujairami alal-Khatib, (Beirut: Darul-Fikr), jld 4 hlm 100

Posting Komentar untuk "Apakah Suami yang Meninggalkan Istri Wajib Menafkahi?"