Hukum Transaksi Kredit Barang

Mengetahui hukum halal dan haram dalam bertransaksi merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, syariat Islam sangat memperhatikan segala bentuk jual-beli, mengingat barang yang selalu kita konsumsi juga berasal darinya. Terlebih lagi dalam menghadapi tantangan di era global ini, yang mana mulai banyak bermunculan berbagai macam problematika muamalah dengan menyesuaikan tuntutan zaman. Termasuk di antaranya yakni jual beli barang secara kredit.

Dalam literasi fikih jual beli secara kredit disebut juga dengan بيع التقسيط "Bai' Taqsith" yang berarti membeli barang dengan pembayaran ditunda atau tidak kontan kemudian ditentukan tempo waktu pembayarannya. Adapun solusi hukum dari permasalahan ini didasari oleh kaidah fikih yang berbunyi:

اَلْأَصْلُ فِي الْعُقُودِ جَمِيعُهَا الْعَدْلُ

“Hukum asal dari semua akad transaksi harus adil.”[1]

Pada dasarnya jual-beli dengan cara kredit diperbolehkan. Ambil contoh seperti orang yang membeli motor dengan harga Rp 15.000.000 kemudian ia membayar di saat itu sebagai uang muka sebanyak Rp 750.000, kemudian perbulannya ia membayar Rp 500.000 sebagai cicilan dengan adanya kesepakatan penjual dan pembeli mengenai harga dan waktunya.[2]

Baca juga: Khutbah Jumat: Cinta Tanah Air dengan Beramal Saleh

Dalam transaksi jual beli kredit barang ini, penjual boleh menjual barang secara kredit dengan harga yang lebih murah dari harga pasarnya, sama dengan harga pasarnya, atau lebih mahal dari harga pasarnya. Untuk ketentuan harga barang kredit lebih mahal dari harga pasarnya diperbolehkan sebab setiap perdagangan pasti mengharap suatu keuntungan. Ini berbeda dengan pinjaman kredit uang yang tidak boleh untuk dilebihkan atau bunga. Sebab akad jual beli barang kredit di sini antara uang dan barang yang ditukar tentunya berbeda jenis, sedangkan uang dengan uang termasuk sama-sama barang ribawi yang dihukumi riba apabila dilebihkan.

Adapun alur jual beli kredit barang sebagai berikut: Pertama penjual dan pembeli menentukan harga barang dan jangka waktu pembayarannya secara rutin. Kemudian pembeli membayar uang muka terlebih dahulu, dan seterusnya membayar uang cicilan perbulannya. Seperti contoh tabel berikut ini:

Untuk permasalahan uang muka yang lebih besar dari biaya angsuran ulama sepakat memperbolehkan tanpa adanya perbedaan pendapat. Namun jika uang muka lebih kecil dari biaya angsuran perbulannya ulama berbeda pendapat, sebagian ulama tidak memperbolehkan karena memperbanyak biaya angsuran daripada pembayaran uang muka atas barang termasuk riba atau menyerupai riba. Di antara sebagian ulama tersebut yakni pendapat Imam Zainal Abidin Ali bin al-Husain. Sedangkan empat mazhab, jumhur ulama, dan ahli hadis memperbolehkan memperbanyak biaya angsuran daripada  uang muka asalkan memenuhi dua syarat berikut,

1.     Tempo waktu yang ditentukan sudah maklum (lumrah tidak terlalu berlebihan atau kurang)

2.     Harga barang kredit, uang muka, dan angsuran perbulannya sudah disepakati bersama antara penjual dan pembeli.[3]

Baca juga: Dasar Hukum Tawasul Al-Fatihah untuk Orang yang Sudah Meninggal

Dua syarat tersebut merupakan sebagian keterangan yang dikehendaki dari kutipan ayat al-Qur’an yang berbunyi,

فَإِذَا دَفَعۡتُمۡ إِلَيۡهِمۡ أَمۡوَٰلَهُمۡ فَأَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبًا

"Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)." (QS. An-Nisa’: 6)

Ayat tersebut memang lebih menjelaskan tentang harta anak yatim, namun penjelasan lebih lanjut dari ayat tersebut masih bersangkutan juga dengan hukum kredit barang tentang saksi bagi pelaksanaan akad. Dua syarat tersebut juga menjadi salah satu keterangan yang dikehendaki dari sabda Rasulullah SAW berikut ini,

أَنَّهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِذَا تَفَرَّقَا أَوْ خَيَّرَ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ فَاخْتَارَ الْبَيْعَ فَقَدْ تَمَّ الْبَيْعُ

“Sesungguhnya di antara dua orang (yang melakukan transaksi) terdapat khiyar (hak menentukan) selagi tidak saling berpisah (dari tempat akad transaksi), jika sudah terpisah sedangkan sudah sepakat salah satu dari mereka maka akad jual beli sudah sempurna.” (HR. Muslim)[4]

Baca juga: Apa Perbedaan Antara Lomba dan Judi?

Dengan adanya dua syarat di atas, maka kedua belah pihak tidak boleh melanggar kesepakatan mereka sendiri. Jika kedua belah pihak sepakat untuk menetapkan pembayarannya setiap sebulan sekali tetapi justru dibayar dua bulan sekali, maka hal itu dihukumi riba yang diharamkan. Termasuk juga dihukumi riba apabila melanggar dalam segi harga yang telah ditetapkan, seperti pembeli tidak sanggup membayar ketika sudah jatuh tempo kemudian penjual menetapkan bunga 5% dari biaya angsuran.[5]

Wallahu a’lam...




[1] Syaikh Dr. Muhammad Musthofa Az-Zuhaili, Al-Qawaidul-Fiqhiah wa Tathbiqatuha fiil-Madzahibul-Arba’ah, (Damaskus: Darul-Fikr), jld 2 hlm 824

[2] Imam Nawawi (676 H), Raudhatut-Talibin, (Beirut: Maktabah Al-Islami), jld 3 hlm 399

[3] Al-Qadhi Muhammad Taqiyul-Utsmani, Buhuts fii Qadhaya Fiqhiah Ma’ashirah, (Damaskus: Darul-Qalam), hlm 12

[4] Syaikh Abu Muhammad Ali bin Ahmad Al-Andalusi (456 H), Al-Mahalli bil-Atsar, (Beirut: Darul-Fikr), jld 10 hlm 17-18

[5] Al-Qadhi Muhammad Taqiyul-Utsmani, Buhuts fii Qadhaya Fiqhiah Ma’ashirah, (Damaskus: Darul-Qalam), hlm 14-15

1 komentar untuk "Hukum Transaksi Kredit Barang"

Silahkan masukkan komentar Anda di sini.